Kamis, 02 Juni 2011

PELATIHAN KETRAMPILAN SOSIAL UNTUK TERAPI KESULITAN BERGAUL

1. Pengantar

Secara garis besar kemampuan seseorang dalam berhubungan sosial dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok, yaitu yang dapat dikategorikan sebagai individu-in-dividu yang trampil atau pandai bergaul dan sebaliknya yaitu individu-individu yang mengalami kesulitan bergaul. Individu yang pandai bergaul biasanya dapat mengatasi berbagai persoalan di dalam pergaulan. Mereka tidak mengalami kesulitan untuk membina hubungan dengan teman baru, berkomunikasi secara efektif dengan orang lain, terlibat dalam pembicaraan yang menyenangkan, dan dapat mengakhiri pembicaraan tanpa mengecewakan atau menyakiti orang lain. Dalam pertemuan formal, mereka dapat mengemukakan pendapat, memberi penghargaan atau dukungan terhadap pendapat orang lain, dan mereka dapat juga mengemukakan kritik tanpa menyakiti orang lain. Sebaliknya, orang yang sulit bergaul merasa kesulitan untuk memulai berbicara, terutama dengan orang-orang yang belum dikenal, mereka merasa canggung dan tidak dapat terlibat dalam pembicaraan yang menyenangkan. Dalam hubungan formal, mereka kurang atau bahkan tidak berani mengemukakan pendapat, pujian, keluhan dan sebagainya.

Tingkat kesulitan bergaul ini sangat bervariasi, mulai dari kesulitan bergaul situasional, di mana penderita mengalami kesulitan untuk bergaul di situasi-situasi tertentu saja, sampai ke tingkat kesulitan bergaul yang disebabkan oleh gangguan mental kronik. Oleh karena itu teknik yang digunakan dalam membantu penderita kesulitan bergaul ini juga berbeda-beda. Salah satu teknik yang semakin populer penggunaannya adalah pelatihan ketrampilan sosial.

Pelatihan ketrampilan sosial merupakan salah satu teknik modifikasi perilaku yang mulai banyak digunakan, terutama untuk membantu penderita kesulitan bergaul. Teknik ini dapat digunakan sebagai teknik tunggal maupun teknik pelengkap yang digunakan bersama-sama dengan teknik psikoterapi lainnya.

Ketrampilan sosial berasal dari kata trampil dan sosial. Kata ketrampilan berasal dari 'trampil' digunakan di sini karena di dalamnya terkandung suatu proses belajar, dari tidak trampil menjadi trampil. Kata sosial digunakan karena pelatihan ini bertujuan untuk mengajarkan satu kemampuan berinteraksi dengan orang lain. Dengan demikian pelatihan ketrampilan sosial maksudnya adalah pelatihan yang bertujuan untuk mengajarkan kemampuan berinteraksi dengan orang lain kepada individu-individu yang tidak trampil menjadi trampil berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya, baik dalam hubungan formal maupun informal.

2. Prinsip-prinsip dalam Pelatihan

Kata pelatihan digunakan dalam teknik ini karena di dalam pelatihan akan diajarkan satu perilaku baru yang bersifat praktis, yaitu ketrampilan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pelatihan terkandung juga prinsip-prinsip belajar, tapi yang dipelajari adalah pengetahuan praktis dan dipelajari dalam waktu yang relatif singkat. Prinsip belajar yang dipakai dalam pelatihan adalah andragogi atau prinsip belajar orang dewasa.

Dalam pelatihan, individu dianggap sebagai orang yang sudah tahu atau memiliki suatu ketrampilan tapi dalarn porsi yang kurang. Dalam teknik 'belajar untuk orang dewasa' terdapat beberapa prinsip-prinsip yang mendukung terjadinya perubahan perilaku. Prinsip ini antara lain adalah bahwa orang dewasa berbeda dengan anak-anak. Orang dewasa menyadari bahwa mereka memiliki kemampuan dan pengalaman sehingga

mereka ingin terlibat dalam proses belajar itu. Keterlibatan yang aktif di dalam pengaiaman belajar dapat menjadi modal terjadinva transfer belajar yang optimal dan bukan hanya sebagai penerima informasi yang pasif. Dengan demikian dalam pelatihan, tanggung jawab atas proses belajar sepenuhnva berada di tangan peserta bukan pada pelatih.

Sebagaimana proses belajar, yang menjadi sasaran bukan hanya aspek intelektual atau kognitif saja, akan tetapi juga aspek emosi atau afektif dan psikomotor. Perubahan yang meliputi ketiga aspek tersebut akan tercapai apabila peserta dilibatkan dalam proses pelatihan melalui bermain peran yang harus dilakukan setelah melihat demonstrasi atau modelling beberapa ketrampilan. Demonstrasi akan lebih efektif apabila berupa persoalan-persoalan yang realistis serta relevan dengan peserta.

Prinsip yang terakhir dan tak kalah penting dalarn pelatihan adalah bahwa sesungguhnya proses belajar itu adalah suatu pengalaman yang dimulai dari peserta pela-tihan dan berlangsung dalam diri peserta, karena itu peserta tidak diajari tetapi diberi motivasi untuk mencari pengetahuan, ketrampilan, perilaku yang lebih baru dengan menggali sumber daya dalam dirinya (Budilarasati, 1992).

3. Pelatihan Ketrampilan Psikologik

Pelatihan ketrampilan sosial adalah salah satu bentuk pelatihan ketrampilan psikologik. Pelatihan ketrampilan psikologik diciptakan sebagai alternatif bagi pemberi bantuan atau konselor terhadap masyarakat golongan sosial ekonomi menengah ke bawah. Berdasarkan data keberhasilan psikoterapi yang dikumpulkan di Amerika Serikat (dalam Goldstein, 1981), psikoterapi sering gagal atau kurang berhasil apabila diterapkan pada klien dari masyarakat golongan ini. Data ini menunjukkan bahwa keberhasilan psikoterapi sangat ditentukan oleh ciri-ciri klien yang tergolong dalam YAVIS. Yavis maksudnya adalah psikoterapi akan lebih berhasil apabila kliennya adalah golongan muda atau Young, Attractive, Verbal, atau memiliki ketrampilan verbal, intelligent atau klien yang memiliki kemampuan intelektual yang memadai, dan Successful. Di samping itu pada umumnya psikoterapi lebih diarahkan pada klien dari kelas sosial menengah ke atas (Schofield, dalam Goldstein, 1981). Untuk klien yang bukan YAVIS ini biasanya psikoterapi kurang disarankan.

Usaha mencari intervensi alternatif yang dapat digunakan untuk kelompok non-YAVIS ini mendorong beberapa ahli untuk menyusun satu teknik yang diduga dapat efektif membantu klien golongan ini. Teknik-teknik itu antara lain prosedur belajar terstruktur, yang memuat berbagai pelatihan-pelatihan ketrampilan psikologik.

Ada banyak pelatihan ketrampilan psikologik yang dikemukakan oleh Goldstein (1981), yaitu pelatihan pemecahan masalah yang kreatif, pelatihan asertivitas, pelatihan wawancara pekerjaan, dan pelatihan ketrampilan sosial.

Pada prinsipnya pelatihan ketrampilan psikologik ini dapat dilaksanakan melalui 4 tahap, yaitu:

(1) Modelling, yaitu tahap penyajian model yang dibutuhkan peserta pelatihan secara spesifik, detil, dan sering.

(2) Role playing, yaitu tahap bermain peran di mana peserta pelatihan mendapat kesempatan untuk memerankan suatu interaksi sosial yang sering dialami sesuai dengan topik interaksi yang diperankan model.

(3) Performance feedback, yaitu tahap pemberian umpan bahk. Umpan balik ini harus diberikan segera setelah peserta pelatihan mencoba agar mereka yang memerankan tahu seberapa baik ia menjalankan langkahlangkah pelatihan ini.

(4) Transfer training, yaitu tahap pemindahan ketrampilan yang diperoleh individu selama pelatihan ke dalam kehidupan sehari-hari.

4. Pelatihan Ketrampilan Sosial untuk Terapi Kesulitan Bergaul

Pelatihan ketrampilan sosial diberikan kepada individu yang mengalami kelemahan dalam beberapa ketrampilan sosial. Ketrampilan sosial yang sering dikeluhkan individu

antara lain tidak mampu melakukan komunikasi dengan baik, tidak memiliki ketrampilan sosial, baik secara implisit maupun eksplisit. Oleh karena itu Michelson, dkk. (1985) mengemukakan bahwa pelatihan ketrampilan sosial dirancang untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan ketrampilan sosial individu.

Ketrampilan sosial meliputi ketrampilan-ketrampilan memberikan pujian, mengeluh karena tidak setuju terhadap sesuatu hal, menolak permintaan orang lain, tukar pengalaman, menuntut hak pribadi, memberi saran kepada orang lain, pemecahan konflik atau masalah, berhubungan atau bekerja sama dengan orang lain yang berlainan jenis kelamin, berhubungan dengan orang yang lebih tua dan lebih tinggi statusnya, dan beberapa tingkah laku lain sesuai dengan ketrampilan yang tidak dimiliki oleh klien (Michelson, dkk. 1985). Pelatihan ketrampilan sosial ini diberikan berdasarkan tingkah laku apa saja yang akan diubah dari individu yang bersangkutan (Bulkeley dan Cramer, 1990).

Sebagaimana pelatihan-pelatihan ketrampilan psikologik lainnya, pelatihan ketrampilan sosial mulai dikembangkan pada awal tahun 1970-an. Pendekatan ini ber-anggapan bahwa individu berada dalam 'masa belajar' dan bukan sebagai klien yang membutuhkan terapi. Pelatihan ini dilakukan berdasarkan anggapan bahwa yang dihadapi adalah seorang yang kekurangan dan kemampuan yang lemah, padahal kemampuan ini dibutuhkan untuk dapat hidup secara efektif dan memuaskan.

Dalam pelatihan ketrampilan sosial disajikan beberapa model atau contoh tingkah Iaku. Subjek atau klien diminta untuk mengobservasi, kemudian menirukan tingkah laku tersebut. Jadi dalam pelatihan ketrampilan sosial terkandung prinsip-prinsip belajar sosial seperti yang dikemukakan Bandura (dalam Hergenhahn, 1976). Individu melihat, mengobservasi, kemudian menirukan tingkah laku yang diajarkan tersebut. Apabila individu berhasil menirukan tingkah laku tersebut, pelatih akan memberikan pengukuh.

Tugas pelatih dalam pelatihan ini bukanlah membuat interpretasi, refleksi atau memberikan satu pengukuhan saja, tetapi secara aktif pelatih sengaja mengajarkan peri-laku yang diinginkan. Pelatih bukan melakukan intervensi seperti dalam melakukan psikoterapi, tetapi cenderung pada pelatihan. Arah pelatihan ketrampilan ini tertuju pada mengajarkan perilaku yang spesifik, bukan nilai, sikap, ataupun insight dan merupakan pendekatan perilaku yang dirancang untuk mengembangkan tindakan yang terlihat.

Pelatihan ini dapat dilakukan dengan cara bermain peran, menirukan model yang diperankan video, menirukan model yang diperankan teman sebaya, dan setting in-vivo (Bulkeley dan Cramer, 1990). Beberapa teknik yang digunakan dalam pelatihan ketrampilan sosial adalah:

(1) Modelling, yang dilakukan dengan cara memperlihatkan contoh tentang ketrampilan berperilaku yang spesifik, yang diharapkan dapat dipelajari oleh pela-tih. Model ini dapat langsung disajikan oleh terapis, pemeran atau aktor/aktris, model melalui video, ataupun gabungan dari model yang sesungguhnya dan model video. Untuk memenuhi tujuan ini disusun langkah-langkah yang akan diperagakan oleh model, baik langsung maupun melalui kaset video. Ketrampilan yang diajarkan dapat berupa ketrampilan tunggal maupun ketrampilan kombinasi. Ketrampilan tunggal hanya memuat satu jenis ketrampilan dasar saja, misalnya ketrampilan memulai pembicaraan, melakukan pembicaraan, mengakhiri pembicaraan dan seterusnya. Ketrampilan kombinasi memuat pelatihan mengenai aplikasi ketrampilan dasar untuk menghadapi masalah-masalah dalam kehidupan nyata.

(2) Bermain Peran, dilakukan dengan cara mendengarkan petunjuk yang disajikan model atau melalui video. Setelah itu biasanya dilanjutkan dengan diskusi me-ngenai aktivitas yang dimodelkan. Latihan verbalisasi sangat diperlukan di sini melalui diskusi mengenai kejadian-kejadian yang sering membuat peserta berada dalam kesulitan. Bagi pelatih, latihan ini dapat dilakukan dengan cara menyajikan situasi/model, dan menanyakan pada klien mengenai apa yang akan dilakukannya apabila berada dalam situasi seperti itu. Setelah diskusi selesai, latihan bermain peran dapat dilakukan.

(3) Umpan Balik terhadap Kinerja yang Tepat, yang dilakukan dengan cara memberi pengukuh terhadap peserta yang menunjukkan kinerja yang tepat, apabila peserta berhasil melakukan peran yang dilatihkan secara in-vivo, maupun apabila peserta mengemukakan target perilaku yang ingin dilakukan.

Pelaksanaan pelatihan ketrampilan sosial dapat secara individual maupun kelompok. Ada beberapa keuntungan apabila pelatihan dilakukan secara kelompok, antara lain adalah penghematan tenaga, waktu, dan biaya. Di samping itu karena pelatihan ini untuk penderita kesulitan bergaul, maka dengan mengikuti pelatihan dalam kelompok yang merupakan miniatur dari kehidupan masyarakat yang sesungguhnya, masing-masing anggota mendapat kesempatan melakukan praktek dalam kelompok sehingga mereka dapat melakukan perilaku sesuai contoh, dan merasakan emosi yang menyertai perilaku tersebut. Masingmasing anggota kelompok dapat saling memberi umpan balik, pengukuh, maupun dorongan. Keuntungan berlatih dalam kelompok, peserta dapat merasakan adanya universalitas, artinya peserta menjadi sadar bahwa ada orang lain yang mengalami masalah serupa dengan dirinya. Hal ini membuat peserta merasa bukan hanya dirinya saja yang menderita hal tersebut (Yalom, 1975). Perasaan ini akan meningkatkan pembukaan diri (Meichenbaum, 1979) dan akan memberikan motivasi untuk berubah yang lebih besar.

Untuk pelaksanaan pelatihan dalam kelompok tentu saja ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Besarnya kelompok hendaknya tidak lebih dari 12 orang (Kelly, 1982; Michelson, dkk. 1985). Kelompok yang terlalu besar akan membawa akibat negatif, karena masing-masing anggota kelompok akan memiliki kesempatan berlatih yang sedikit. Homogenitas kelompok perlu juga dipertimbangkan. Peserta-peserta yang relatif homogen lebih baik daripada yang heterogen. Artinya perbedaan kelemahan dan kelebihan peserta tidak terlalu besar. Hal ini dilakukan untuk menjaga kebosanan yang mungkin terjadi bagi anggota kelompok yang kemampuannya lebih tinggi, dan menjaga timbulnya rasa rendah diri bagi peserta yang kemampuannya lebih rendah.

Pelaksanaan pelatihan ketrampilan sosial ini, dapat dilakukan dalam format terapi, artinya dilaksanakan dalam beberapa kali pertemuan, atau dalam format workshop, yaitu dilakukan dalam waktu satu atau dua hari penuh. Penentuan format ini sangat berkaitan dengan peserta pelatihan. Untuk peserta yang benar-benar mengalami masalah kesulitan bergaul atau problem klinis lainnya, sebaiknya menggunakan format terapi. Pertemuan 2 jam perhari dan dilakukan selama 10-12 kali pertemuan merupakan pilihan yang tepat. Sebaliknya untuk peserta yang hanya ingin meningkatkan ketrampilan atau ingin menambah pengalaman, format workshop 1-2 hari cukup bermanfaat.

Di Indonesia, paket pelatihan ketrampilan sosial telah disusun oleh Ramdhani (1992). Paket pelatihan ini merupakan modifikasi dari social skills training yang disusun oleh Michelson, dkk. (1985), psychological skills training yang disusun oleh Goldstein (1981), dan assertion training dari Rees dan Graham (1991). Pelatihan ini disusun dalam format kaset video, sehingga memudahkan pelatih dalam memberikan contoh-contoh perilaku yang akan dijadikan model.

Dalam pertemuan pertarraa dari pelatihan perlu dijelaskan mengenai hal-hal yang terkait dalam pelatihan ketrampilan sosial, yaitu kesulitan bergaul, dasar-dasar pikiran mengenai penggunaan pelatihan ketrampilan sosial untuk membantu individu yang sulit bergaul, dan tujuantujuan pelatihan ketrampilan sosial. 1'ada sesi-sesi pelatihan; masing-masing peserta sangat dituntut untuk aktif mencoba, berlatih, dan memberi masukan kepada peserta yang lain, maka suasana pelatihan diciptakan sedemikian rupa sehingga hubungan peserta dan pelatih dapat akrab. Untuk itu perkenalan antara pelatih dan peserta, maupun antarpeserta mutlak diiakukan di awal pelatihan. Perkenalan didahului oleh pelatih dilanjutkan oleh peserta satu persatu.

Membangun harapan peserta merupakan bagian penting dalam peiatihan. Sesi membangun harapan dilakukan di awal pelatihan, namun tidak tertutup kemungkinan munculnya harapan baru selama pelatihan berlangsung. Sebelum memberi kesempatan kepada peserta untuk mengemukakan harapan-harapannya, pelatih hendaklah memulai dengan mengemukakan harapan-harapannya. Harapan-harapan yang mungkin dapat

dicapai peserta ini dapat diungkap dengan cara mengajak peserta mengisi lembar isian target perilaku yang hendak dicapai (gambar 5.a.). Target perilaku ini diisi sendiri oleh peserta pelatihan, dengan demikian peserta dapat mempelajari proses-proses yang terjadi dalam dirinya selama pelatihan berlangsung.

TARGET PERILAKU

Nama : ________________

Alamat : ________________

Deskripsi Situasi

Skala (0% - 100%)

sekarang

target

Cara lain yang dapat dilakukan untuk membina harapan peserta adalah dengan mengajak mereka untuk mengisi Skala Tmgkah Laku Sosial (STLS) gambaY' 5.b., Skala Kecemasan (SK), maupun Skala Konsep Diri (SKD). Ketiga skala ini sudah digunakan dalam beberapa penelitian dan terbukti memiliki tingkat validitas dan reliabilitas yang baik. Dalam tulisan ini akan dikemukakan contoh beberapa item STLS yang berguna untuk mengetahui seberapa kemampuan peserta dalam bergaul. STLS terdiri dari 48 item dan telah diteliti validitas dan reliabilitasnya (Ramdhani, 1991).

No

Pernyataan

SS

S

TS

STS

01

Saya mengenal dengan baik setiap tetangga

02

Saya hanya mempunyai sedikit teman, baik di kampus maupun di lingkungan tempat tinggal

03

Saya mempunyai banyak sekali teman dan saya ingat hamper semua nama-nama mereka

Setelah sesi membina harapan peserta, pelatih dapat langsung memandu peserta memulai pelatihan ketrampilan sosial. Pelatihan ini terdiri dari 13 contoh-contoh perilaku yang sering dilakukan dalam kehidupan seharihari. Perilaku-perilaku itu adalah 1) cara bertanya untuk tujuan konfirmasi, 2) cara memberi dan menerima pujian, 3) cara mengeluh dan menghadapi keluhan, 4) cara menolak, 5) cara meminta pertolongan, 6) cara menyatakan perasaan tidak pasti, 7) cara menyarankan perubahan perilaku, 8) cara menuntut hak, 9) cara terlibat dalam percakapan dengan menyenangkan, 10) cara berempati, 11) cara berinteraksi dengan teman-teman yang berbeda status, 12) cara berinteraksi dengan teman-teman yang berlainan jenis kelamin, dan 13) cara berinteraksi dan bergabung ke dalam kelompok.

Berikut ini akan dikemukakan contoh-contoh dialog cara bertanya untuk tujuan konfirmasi. Dalam interaksi dengan orang lain, seringkali terjadi kesalahpahaman yang disebabkan oleh tidak lengkapnya informasi. Bertanya untuk tujuan konfirmasi adalah salah satu perilaku yang perlu dimiliki. Kegagalan dalam menggali informasi mengenai sebab-sebab seseorang bereaksi dapat dalam bentuk reaksi-reaksi pasif dan agresif. Bayangkan pada suatu saat anda menyadari bahwa salah seorang teman telah meminjam diktat kuliah tanpa sepengetahuan anda. Ketrampilan bertanya untuk tujuan ini, yaitu bertanya tanpa terkesan menuduh sangat dibutuhkan. Coba perhatikan contoh berikut.

Sus : Eh, mas Very, apakah saya bisa bicara sebentar?

Very : Oh iya, ada apa Sus?

Sus : Kira-kira mas Very tahu nggak ya .... (ragu-ragu) buku diktat kuliah saya nggak ada .. . ehm .. ehm .. mudah-mudahan nggak ada yang mengambilnya .. (dengan rasa ragu-ragu .. takut ..untuk menatap Very secara langsung)

Very : oh... bukumu itu .. yang sampulnya biru? Sus . iya ... ee...e..

Very : ada di saya tuh .. saya, hari minggu yang lalu saya ke rumahmu tapi kamu tidak ada di tempat ... saya pinjam saja (sambil menunjukkan buku

bersampul biru) sebab ada tugas dari pak Dodo

Sus : saya pikir .. bukunya hilang

Very : oh.. nggak kok .. ada di saya ... aman, nanti juga saya kembalikan ya ..

Sus : kira-kira ... gimana ya ... kemungkinan saya juga mau pakai buku itu ... (sesungguhnya Sus membutuhkan buku itu sekarang)

Very : minggu depan .. gimana Sus ... sebab tugas saya belum selesai .. tinggal sedikit lagi ...

Sus : Minggu depan?.. (ragu-ragu) .. iya deh ..(dengan terpaksa)

Very : Terima kasih Sus

Sus : iya dehh ... (pergi meninggalkan Very sambil berpikir bingung)

Dari dialog di atas tampak bahwa reaksi Sus sangat pasif. Dengan ragu-ragu dia menanyakan tentang bukunya yang hilang. Perilaku seperti ini dapat merugikan baginya, karena Very mungkin akan melakukan hal yang sama di masa yang akan datang, atau bahkan mungkin tidak mengembalikan buku tersebut sebab ia mungkin tidak mengerti bahwa Sus membutuhkan buku tersebut saat ini. Sangat berbeda halnya dengan perilaku agresif seperti contoh di bawah ini:

Ruru : Tik, (memandang Utik sambil membelalakkan matanya) kamu yang mengambil buku agama saya ya ..

Utik : ah .. yang bener aja .. jangan mudah menuduh orang sembarangan doong .. Kamu ini memang paling suka menuduh .. saya kan cuma minjam buku itu

Ruru : Pokoknya kembalikan .. (sambil membentak)

Utik : Iya .. iya .. sekarang juga saya kembalikan .. nihh (sambil menyerahkan buku dengan kesal) Ruru : Huuhh .. pinjam seenaknya .. nggak bilang-bilang .. (sambil pergi meninggalkan Utik)

Utik : (diam, kesal, sambil menggeretakkan giginya.. dan menggerutu ke temannya)

Pada dialog tersebut, Ruru telah gagal mengemukakan pertanyaan kepada Utik. Pertanyaan Ruru 'kamu yang mengambil buku agama saya ya..?' kepada Utik telah memberikan kesan perilaku agresif, yaitu menuduh bahwa Utik sudah mengambil bukunya. Selain itu keinginan Ruru untuk mendapatkan bukunya kembali dengan cara mengatakan '.. pokoknya kembaliin' memberikan kesan sombong. Dalam hal ini Utik menjadi marah, sakit hati, dan mungkin untuk membalas rasa sakit hatinya, dia mungkin akan dengan sengaja melakukan hal yang sama di waktu yang akan datang. Interaksi seperti ini sangat mungkin akan menyebabkan putusnya tali persahabatan.

Kedua dialog tersebut di atas merupakan contoh perilaku pasif dan agresif. Berikut ini adalah contoh perilaku asertif.

Situasi : Very dan Bintang sedang asyik berdialog, ketika tiba-tiba datang seorang teman mereka, Etha.

Etha : Ver .. (Etha memanggil hati-hati dan menyatakan maaf pada Bintang karena sudah mengganggu pembicaraan mereka)

Etha : Apa betul kamu meminjam catatan Faal saya? saya sudah mencoba mencari-carinya di rumah.. tapi tidak ada ... Menurut Yushi, bukuku itu ada di rumahmu

Very : Oh ... (mencoba mengingat-ingat) iya .. Tha, maaf sekali, waktu itu saya ada tugas dan kebetulan minggu sebelumnya saya tidak masuk kuliah, saya bermaksud meminjam catatanmu tapi kamu sedang tidak di rumah..

Etha : Iya .. nggak apa-apa sebetulnya, tapi lain kali bilang dulu ya .. atau kamu dapat meninggalkan catatan kecil di meja

Very : iya (dengan menyesal) waktu itu saya terburu-buru,

Etha : Kira-kira kapan kamu mau mengembalikannya?

Very : Nanti sore .. Boleh? kamu di kampus sampai jam berapa?

Etha : Nanti sore saya ada di rumah. Apa kamu bisa mengembalikannya di rumah?

Very : iya .. bisa, nanti sekitar jam 4 sore aku ke rumahmu ya.

Etha : OK .. terima kasih .. (sambil melambaikan tangan ke Bintang dan Very)

Dari contoh-contoh dialog tersebut jelas sekali kelihatan perbedaan antara ketiganya. Dialog pertama yang dilakukan oleh Sus dan Very berakhir dengan ketidakpastian mengenai kapan buku tersebut akan dikembalikan oleh Very. Sebaliknya, dialog ke dua antara Ruru dan Utik telah mengakibatkan kedua belah pihak mengalami sakit hati. Sikap Ruru yang agresif, marah-marah, dan menuduh Utik telah mencuri bukunya, telah membuat Bintang marah dan dengan kasar mengembalikan buku tersebut kepada Ruru.

Dialog terakhir adalah contoh perilaku asertif, yang diperankan oleh Etha. Etha yang ingin bicara dengan Very yang saat itu sedang terlibat pembicaraan dengan Bintang, tidak lupa menyatakan 'maaf' terlebih dahulu sehingga tidak menimbulkan kesan memotong pembicaraan mereka. Pernyataan Etha yang lain kepada Very: ' Iya .. sebetulnya nggak apa-apa' memberikan kesan kepada Very bahwa Etha memahami kondisinya saat .itu yang sangat membutuhkan buku tersebut. Dengan demikian pada saat Etha mengingatkan dengan 'tapi lain kali bilang dulu ya .. atau kamu dapat meninggalkan catatan kecil di meja', Very dapat menerimanya dan merasa senang serta berterima kasih. Dengan demikian Etha hampir dapat dipastikan akan mendapatkan bukunya kembali. Di lain pihak, Etha telah memperingatkan Very untuk tidak mengulangi perbuatannya di masa yang akan datang.

Contoh lain dari pelatihan ketrampilan sosial yaitu pelatihan menghadapi situasi yang juga sering menyulitkan yaitu memuji dan dipuji. Memberi pujian adalah menyatakan sesuatu yang positif dan menyenangkan orang lain. Perlu dipahami bahwa umumnya setiap orang akan senang mendengarkan hal-hal positif mengenai dirinya, maka memuji maupun dipuji akan memberikan rasa senang. Ada cara-cara yang tepat dan ada pula yang tidak tepat dalam mengemukakan pujian dan dipuji ini. Dua kata kunci yang perlu diingat dalam hal ini adalah perasaan tulus dan ketepatan waktu. Pujian yang dikemukakan hendaklah sungguh-sungguh apa yang dirasakan dan ingin dikemukakan. Di samping itu hendaknya pujian dikemukakan pada saat yang tepat. Coba perhatikan contoh berikut:

Situasi : Sus, Ruru, dan Yushi sedang membicarakan tentang hobi masing-masing sambil melihatlihat foto hasil karya Sus.

Yushi : Wah... ternyata kamu senang fotografi, ya Sus? Sudah berapa lama mulai hobi ini?

Sus : Ya.. lumayan lah .. saya mulai 2 tahun ini

Yushi : (melihat-lihat foto dengan kagum..) yang ini juga hasil jepretanmu?

Sus : Iya.. ini saya buat 2 bulan lalu (wajahnya berbinar dan nampak antusias)

Yushi : Oohh.. (mengangguk-angguk kagum)

Sesungguhnya Yushi sangat kagum pada hasil karya Sus, tapi ia kurang mampu menyatakan secara verbal. Bahasa non-verbal sesungguhnya sangat penting artinya dalam komunikasi tetapi tanpa mengemukakannya secara verbal, arti dari bahasa non-verbal masih kabur dan kadang-kadang penerima pesan kurang dapat memahami arti yang sesungguhnya ingin disampaikan. Coba bandingkan dengan contoh dialog berikut.

Situasi : Ruru, Sus, dan Dida sedang melihat-lihat foto hasil karya Sus.

Sus : (menerangkan cerita di balik foto-fotonya) Yang ini saya buat waktu baru dapat hadiah kamera dari bapak

Dida : (mengangguk-angguk) bagus juga ya... emangnya sudah berapa lama kamu belajar fotografi?

Sus : Tidak terlalu lama, baru 2 tahun

Dida : (mengekspresikan kagum) Wah .. yang ini Sus (menunjukkan salah satu foto) bagus sekali .. ini kamu bikin di mana?

Sus : Terima kasih, ini saya bikin waktu di.. Parangtritis, nah yang ini .. di Jembatan Merah

Dida : Wah ... foto-fotomu banyak yang unik deh, aku senang sekali .. kapan-kapan aku diajari doong?

Sus : Boleh, kapan-kapan kalau kamu mau, kita dapat hunting sama-sama.

Dida : Bener ya .. aku serius lho...

Pujian yang tulus dari Dida kepada Sus telah membuat keduanya merasa senang. Apabila dicermati sekali lagi dialog sebelumnya antara Yushi dan Sus, sesungguh-nya Yushi pun merasa kagum kepada hasil karya Sus tetapi Yushi tidak mengemukakan sehingga dialog pun terkesan menggantung, artinya Yushi mengakhirinya dengan diam, dan Sus pun tersenyum tidak pasti. Coba bandingkan pula kedua dialog tersebut di atas dengan dialog berikut ini.

Situasi : Mita dan Utik sedang berjalan keluar dari ruang kuliah, tiba-tiba mereka berpapasan dengan Aji

Mita : Halo Ji.. mau kuliah ya?

Aji : Iya .. kamu? habis kuliah apa Mit?

Mita : Nggak kuliah .. ini baru selesai menghadiri acara pemberian penghargaan dari Rektor. Utik kan Juara Nasional lomba Baca Puisi tingkat Mahasiswa .. Oh, iya Ji, kamu sudah kenal belum dengan Utik? Kamu sepertinya kagum berat pada puisinya.

Aji : (melihat ke Utik)

Mita : Kenalkan Tik, ini Aji, teman kuliah satu angkatan

Utik : (menjabat tangan Aji) Utik

Aji : Saya Aji .. gila si Mita, nggak taunya yang cakep bukan cuma puisinya, woww orangnya juga .. (memandangi Utik terus-menerus)

Utik : Terima Kasih

Aji : Tik, kamu bener-bener hebat iho.. ya orangnya .. puisinya ..

Utik : Ah ... kamu terlalu membesar-besarkan (merasa risih) yook Mita kita pulang

Mita : Kami duluan ya Ji

Aji : Sama-sama doong, aku nggak jadi kuliah ah.. Dari dialog di atas, nampak benar bahwa Utik tidak senang terlalu dipuji oleh orang yang baru dikenalnya. Cara Aji yang memuji dengan gencar, terkesan sangat tidak sopan, agresif, dan tendensius. Dengan demikian Utik merasa tidak yakin akan ketulusannya, seakan-akan Aji memperolok-olok saja.

Dalam pelatihan ketrampilan sosial ini, masing-masing ketrampilan di modelkan oleh model yang pasif, agresif, dan asertif. Dengan demikian, peserta pelatihan dapat membedakan antara ketiganya, memainkan perannya sehingga mereka dapat merasakan emosi-emosi yang menyertai setiap perilaku. Pelatihan ketrampilan sosial yang disusun ini sudah diteliti reliabilitasnya oleh Ramdhani (1993).

5. Penutup

Akhir-akhir ini teknik modifikasi perilaku semakin banyak dilakukan, dan telah diteliti pula keberhasilannya, baik di luar negeri maupun di Indonesia. Stravinsky, dkk. (1987) melakukan penelitian efektivitas social skills training untuk membantu meningkatkan kinerja pasien penderita disfungsi sosial. Dilaporkan bahwa setelah mengikuti pelatihan ini kinerja mereka meningkat dan sebaliknya tingkat kecemasannya berkurang. Penelitian ini mendukung teori yang mengatakan bahwa subjek yang mengalami kesulitan penyesuaian disebabkan oleh adanya kecemasan pada dirinya (Wolpe dan Lazarus, dalam Bierman, 1987) atau sebaliknya kesulitan penyesuaian akan menimbulkan kecemasan (Twentyman, dalam Bierman, 1987), sehingga dengan meningkatnya kinerja berhubungan sosial seorang subjek, tingkat kecemasannya akan menurun.

Penelitian lain dilakukan oleh Jupp, dkk. (1990) yang melakukan penelitian terhadap anak-anak pemalu dan terisolasi sosial yang diberi paket pelatihan serupa. Penelitian ini menunjukkan bahwa konsep diri anak meningkat, demikian pula kemampuan tingkah laku sosialnya juga meningkat. Konsep diri yang meningkat di sini, akan mempengaruhi berkurangnya kecenderungan subjek untuk melakukan penilaian yang negatif terhadap dirinya. Dengan demikian subjek sudah tidak mengalami kesulitan dalam melakukan hubungan sosial.

Pelatihan ketrampilan sosial yang disusun Ramdhani sudah diteliti efektif dalam membantu remaja yang sulit bergaul (Ramdhani, 1993). Pada penelitian ini, dilaporkan telah terjadi peningkatan konsep diri dan perilaku sosial pada remaja-remaja yang mengikuti pelatihan. Konsep diri diukur dengan Skala Konsep Diri atau SKD, sedangkan perilaku sosial remaja diukur dengan Skala Tingkah Laku Sosial atau STLS.

Penelitian serupa telah dilakukan pula pada subjek berbeda, yaitu mahasiswa yang sulit bergaul (Ramdhani,1994; 1995).' Hasil menunjukkan adanya peningkatan perilaku sosial, harga diri, dan sebaliknya terjadi penurunan tingkat kecemasan sosial. Di samping diteliti efektivitasnya pada kelompok subjek sulit bergaul, pelatihan yang disusun oleh Ramdhani ini juga sudah digunakan sebagai pelengkap dari peiatihan asertif untuk menurunkan tingkat kecemasan interpersonal (Ismayudha, 1995).

Daftar Pustaka

Bierman, L.K., Miller, L.C., and Stabb, D.S., 1987, Improving the Social Behavior and Peer Acceptance of Rejected Boys: Effect of Social Skill Training with Instructions and Prohibitions, Journal of Consulting and Clinical Psychology, 55, (2), 194-200.

Budilarasati, A.,1992, 'Prinsip-prinsip Belajar'. Materi Training for Trainers. Fakultas Psikologi UGM, tidak diterbitkan.

Bulkeley, R. and Cramer, D.., 1990, Social Skills Training with Young Adolescent, Journal of Youth and Adolescence, 19, (5), 451-463. .

Goldstein, A.P., 1981, Psychological Skill Training, The Structured Learning Technique. New York: Pergamon Press. Hergenhahn, B.R., 1976, Theories of Learning. New Jersey: Prentice Hall, Inc., Englewood Cliffs.

Ismayudha, Y., 1995, Pengaruh Pelatihan Asertif terhadap Kecemasan Sosial pada Remaja, Skripsi, Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.

Jupp, j.j., and Griffiths, M.D., 1990, Self-Concept Changes in Shy, Isolated Adolescent Following Sosial Skills Training Emphasising Role Plays, dalam Australian Psychologist, 25, (2), 165 - 177.

Kelly, J.A., 1982, Social-Skills Training, A Practical Guide for Interventions. New York: Springer Publishing Co. Meichenbaum, D., 1979, Cognitive-Behavioral Mod~flcation. New York: Plenum Press.

Michelson, L., Sugai, P..D., Wood, R.P, and Kazdin, E.A. 1985, Social Skills Assesment and Training with Children. New York: Plenum Press.

Ramdhani, N., 1991, Harga. Diri dan T'ulgkat Kecemasan pada Mahasiswa yang Sulit Bergaul, L.aporan Penelitian. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.

Ramdhani, N., 1991, Standardisasi Skala Tingkah Laku Sosial, Laporan Penelitian. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.

Ramdhani, N., 1992, Pelatihan Ketrampilan Sosial untuk Mahasiswa yang Sulit Bergaul, Laporan Penelitian. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.

Ramdhani, N., 1993, Perubahan Perilaku dan Konsep Diri pada Remaja yang Sulit Bergaul Setelah Menjalani Pelatihan Ketrampilan Sosial, Laporan Penelitian. Yogya-karta: Fakultas Psikologi UGM.

Ramdhani, N., 1994, Pelatihan Ketrampilan Sosial pada Mahasiswa yang Sulit Bergaul, Tesis S2. Yogyakarta: Program Studi Pasca Sarjana UGM.

Ramdhani, N., 1995, Pelatihan Ketrampilan Sosial pada Mahasiswa yang Sulit Bergaul, Berkala Penelitian Pasca Sarjana. Yogyakarta: Program Studi Pasca Sarjana UGM.

Rees, S. and Graham, S.R., 1991, Assertion Training: How to be Who You Really are. London: Routledge. Stravynski, A., Grey, S., and Elie, R.,1987, Outline of Thera-peutic Process in Social Skills Training With Sosially Dysfunctional Patient, Journal of Consulting and Clinical Psychology, 55, (2), 224 - 228.

Yallom, LD., 1975, The Theory and Practice of Group Psychotherapy. New York: Basic Book Inc.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar